Oleh M. Fuad Nasar

Siapa tidak tahu Prof. Dr. Hamka? Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka. Sosok teladan dalam keteguhan memegang prinsip dan menyuarakan kebenaran sebagai ulama pewaris nabi.

Ketua Umum Pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pahlawan Nasional kelahiran Maninjau, Sumatera Barat 17 Februari 1908 dan wafat di Jakarta 24 Juli 1981 tersebut meninggalkan “warisan” berharga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Bukan warisan kekayaan  materi, tetapi kekayaan kultural, yaitu buku-buku karya almarhum tentang agama, sejarah, dan sastra.

Sekian banyak buku yang ditulisnya lebih dari dari seratus judul, Tafsir Al-Azhar merupakan masterpiece atau karya monumental Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar ditulis Hamka selama dalam tahanan rezim Soekarno (Orde Lama) tahun 1964 sampai 1966. Hamka dituduh dan difitnah melakukan kegiatan subversi terhadap pemerintah Orde Lama di bawah Presiden Soekarno tanpa pernah dibuktikan secara hukum. Tetapi hal itu memberikan hikmah besar kepada Hamka dengan terselesaikannya tafsir Al Quran. ”Beruntung saya ditahan, hingga dapat menyelesaikan Tafsir ini, dua tahun lebih. Yang kalau di luar tahanan belum tentu akan selesai dua puluh tahun.” ujar Hamka. Hamka menafsirkan Al Quran secara luas dan mendalam, setiap jilid satu juzu’ hingga semua berjumlah 30 jilid.

Tafsir Al-Azhar tidak disusun terlalu tinggi sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya para ulama dan cendekiawan. Juga tidak terlalu rendah sehingga menjemukan kalangan berpendidikan tinggi. Tafsir Al-Azhar disusun tanpa membawakan pertikaian mazhab-mazhab fikih atau mengajak orang ta’ashub (fanatik) kepada satu paham mazhab tertentu, tetapi memberi kesempatan kepada pembaca buat berpikir.

Dalam juzu’ X, surat Al-Anfal ayat 41-75 dan surat At-Taubah ayat 1 – 93, Hamka membahas masalah zakat. Hamka mengajak umat Islam menengok kembali cita-cita dua pemimpin besar umat Islam Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan H.O.S. Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam) dalam hal menggerakkan zakat dengan terorganisir secara modern, dikumpulkan dan dibagikan sesuai mustahiknya.

Menurut Hamka, “Sekiranya kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu tiang (rukun) Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat akan bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dari satu bangsa yang merdeka. Padahal jumlah itu tidak banyak hanya sekedar dua setengah persen. Dan kitapun telah mulai melihat di tanah air kita timbulnya kesadaran itu dengan berangsur-angsur. Mudah-mudahan kita menjadi umat yang sadar.”

Sesuai ayat 60 surat At-Taubah bahwa pengeluaran zakat dihadapkan untuk dua keperluan. Pertama, keperluan umum, Kedua, untuk kepentingan perseorangan. “Sabilillah” dan kemerdekaan budak (Riqab) keduanya adalah untuk kemaslahatan umum. Kata “Sabilillah” mengandung daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budak pun bukan untuk kepentingan pribadi budak yang dimerdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari adanya manusia yang dipandang rendah. Adapun kepentingan fakir dan miskin, amil (orang yang bertanggung jawab mengurus zakat), orang yang ditarik hatinya, orang-orang yang berhutang, dan orang yang tengah musafir dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu sendiri, karena ukhuwah atau persaudaraan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskin pun boleh diartikan mengandung kedua maksud di atas tadi, yaitu untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu, dan membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan makmur.

Kriteria “fakir miskin” sebagaimana dijelaskan Hamka bahwa yang berhak menerima zakat adalah yang masih beragama Islam. Yang murtad dari Islam atau mempunyai ideologi tidak percaya kepada Tuhan (Komunis dan Atheis) tidak berhak menerima zakat. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya zakat menimbang patut diberi, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir miskin di kalangan Islam sendiri.

Hamka mengutarakan, Al Quran satu kali pernah memberi kita pedoman untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada yang mempunyai usaha. Ayat 79 surat Al Kahfi menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi Rahmat dan Ilmu oleh Tuhan, yang menurut setengah ahli tafsir bernama Nabi Khidir. Ketika dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebab perahu itu dilobangi, dia mengatakan bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang dipandangnya bagus. Sebuah Hadits Rasulullah dapat juga memberi kita pedoman tentang arti miskin.

“Berkata Rasulullah Saw: Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma. Lalu orang bertanya: Kalau begitu apa yang miskin itu, ya Rasul Allah” Beliau menjawab: Ialah orang yang tidak mempunyai orang kaya buat membantunya, dan orang lain tidak mengerti akan nasibnya supaya orang bersedekah kepadanya, dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mengenai “gharimin” dijelaskan oleh Hamka bahwa orang yang berhutang dan sudah sangat terdesak, sedangkan dia tidak sanggup membayarnya, bolehlah melaporkan nasibnya kepada penguasa yang membagikan zakat, agar hutang itu dibayarkan dengan zakat. Pemerintah atau dalam hal ini amil wajib membayarkan hutang tersebut setelah melakukan penelitian dengan seksama.

Seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Qubaishah bin Mukhariq dari Bani Hilal datang kepada Rasulullah menyatakan nasibnya, berhutang tetapi sudah lama dia berusaha belum juga dapat terbayar. Maka bersabdalah Rasulullah, “Tunggulah, sampai datang zakat, akan kami suruhkan memberikan untuk engkau.” Hadits yang dinukil Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberi pelajaran terkait tugas amil yang semestinya mengantarkan zakat itu kepada orang yang berhak dan bukan mustahik yang bolak-balik meminta dan menanyakan zakat kepada amil.

Adapun orang-orang yang dalam perjalanan, kata Hamka, sependapat para ulama bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat. Meskipun dia seorang yang kaya di negerinya, namun dalam muasafir adalah dia miskin. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan supaya orang musafir untuk menambah pengetahuan, pengalaman, persahabatan dan perbandingan. Syaikh Taher Jalaluddin, ulama besar dan salah satu pelopor pembaharuan Islam asal Minangkabau yang bermukim di Singapura berfatwa, “Seorang kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan, maka dia berhak diberi bantuan belanja dengan zakat.”

Kata Hamka, di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara (India dan Pakistan) dan sesudahnya, ditemukan rumah-rumah yang bernama “Musafir Khanah”, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang Muslim yang tengah musafir.

Menurut Hamka, beratus tahun cara kita berfikir telah mundur, dan fikiran tentang zakat telah membeku. Hamka memberi contoh, bila kesadaran umat Islam Indonesia tentang mengatur, mengumpul dan membagikan zakat telah berjalan dengan lancar, banyaklah usaha dan amal maslahat umum yang dapat dibangun, dari satu pos yang bernama “Sabilillah” itu. Dengan pos “Sabilillah” kita dapat membangun masjid-masjid, rumah-rumah sakit, membelanjai Mubaligh Islam untuk menyebarkan Islam kepada warga negara Indonesia yang belum beragama atau memberi pengertian umat Islam yang “buta agama” tentang ajaran agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa yang lain.

Wallahu a’lam bisshawab.