Oleh M. Fuad Nasar

Setiap tahun Pemerintah Daerah dan masyarakat Sumatera Barat memperingati peristiwa Situjuh Batur tanggal 15 Januari 1949 dalam rangka mengenang jasa para pahlawan kusuma bangsa.   

Setelah Ibukota RI Yogyakarta dikepung dan diduduki tentara Belanda di masa Agresi Militer II, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah menteri ditangkap dan menjadi tawanan Belanda, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan yang melahirkan inisiatif membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi diketuai oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Dalam waktu bersamaan dengan inisiatif membentuk PDRI, Presiden Soekarno sebelum meninggalkan Yogyakarta mengeluarkan mandat tertulis kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk melanjutkan pemerintahan di Sumatera Barat. Perang Gerilya dalam Perang Kemerdekaan II yang dipimpin oleh Panglima Besar Sudirman berada di bawah perintah Ketua PDRI sebagai Panglima Tertinggi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).

Chatib Sulaiman adalah Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN) dan Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) di masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Ia adalah tokoh penting yang gugur di Situjuh Batur, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, dalam mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia semasa Agresi Militer Belanda II.

Riwayat perjuangannya tidak pernah habis bila ditulis. Sepanjang hidupnya sampai wafat di usia 42 tahun telah banyak tenaga dan pikiran yang disumbangkan Chatib Sulaiman untuk Tanah Air, Bangsa dan Negara yang dicintainya. Chatib Sulaiman rajin menulis Catatan Harian yang sampai kini disimpan oleh putranya Sudarman Khatib.

Dalam kepustakaan Indonesia terdapat beberapa buku biografi Chatib Sulaiman, seperti: Khatib Sulaiman (Leon Salim), Chatib Suleman (Rifai Abu dan Abdullah Suhadi) Chatib Sulaiman Sosok Putra Minang yang Berjuang dan Gugur untuk Kemerdekaan Indonesia (Hikmat Israr), Sang Republikan Biografi Chatib Sulaiman (Fikrul Hanif Sufyan), Biografi Calon Pahlawan Penerima Gelar Pahlawan Nasional (Sudarman Khatib Dt. Berbangso, naskah tipis tidak diterbitkan).    

Organisator Pergerakan dari Sumpur

Chatib Sulaiman yang lahir di Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, dekat kota Padang Panjang Sumatera Barat, tahun 1906, adalah anak seorang saudagar rempah-rempah di Pasar Gadang, kota Padang, yaitu Haji Sulaiman dan ibu Siti Rahmah. Meski besar di Padang dan berkiprah di Padang Panjang, namun hubungan historis dan emosional Chatib Sulaiman dengan kampung kelahirannya di Sumpur yang memiliki suku, sako dan pusako serta interaksi dengan masyarakat Sumpur yang hidup sezaman tidak terpisahkan dari perjalanan hidupnya sebagai tokoh pergerakan dan pahlawan bangsa.

Pendidikan Chatib Sulaiman, sebagaimana ditulis Leon Salim, sahabat dekatnya, ialah Sekolah Dasar Gouvernement School Benteng di Padang (1912 – 1917), HIS (Hollandsche Indlandsche School) yakni Sekolah Dasar Adabiah berbahasa Belanda di Padang (1917 – 1919) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP di Padang (1919 – 1921). Di samping itu, secara privaat belajar memainkan biola dengan M. Nur,  violis kenamaan di Padang. Semasa kecilnya mengaji Al-Quran di Surau Sumpur, Pasar Gadang.

Sekitar tahun 1919 usaha perdagangan ayahnya pailit akibat beban pajak yang sangat memberatkan akibat situasi Perang Dunia I. Inyiak Basa Bandaro, saudagar besar Pasar Gadang dan tokoh pergerakan yang dermawan turun tangan membiayai pendidikan Chatib Sulaiman. Ia tidak sampai menamatkan pendidikannya di MULO, namun mendalami berbagai ilmu pengetahuan secara autodidak (belajar mandiri).

Dalam episode kehidupannya tahun 1929 sampai 1940 Chatib Sulaiman pindah ke kota Padang Panjang, yang tidak jauh dari Sumpur, kampung kelahiran dan tempat sanak familinya berada. Di Padang Panjang ia bekerja menggesek biola di gedung bioskop (film bisu) dan mengajar murid memainkan biola untuk menafkahi keluarganya.

Padang Panjang di masa itu merupakan kota pelajar Islam dan pusat pergerakan kemerdekaan. Tokoh pejuang Leon Salim menyebut, di Padang Panjang berhimpun pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, Sulawesi, Semenanjung Tanah Melayu (Malaysia-Singapura) menuntut ilmu di dua sekolah pembaru pendidikan Islam di Indonesia. Sekolah Islam termodern di Tanah Air tersebut adalah Sumatera Thawalib (Thawalib School) didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) pada bulan Desember 1911 dan Madrasah Diniyyah (Diniyyah School) yang didirikan oleh Zainuddin Labay El-Yunusy (kakak dari Rahmah El-Yunusiyyah) pada tahun 1915.

Di kota berhawa dingin itu Chatib Sulaiman mengabdi sebagai guru di HIS Muhammadiyah dan Madrasah Irsyadinnas (MIN) yang didirikan Insyiak Adam BB di Padang Panjang dari tahun 1929 sampai 1935. Pada tahun yang sama atas ajakan sahabatnya Leon Salim, ia bergabung di Kepanduan Elhilaal Sumatera Thawalib dan Persatuan Murid Diniyyah School (PMDS).  

Chatib Sulaiman atas anjuran Inyiak Basa Bandaro bertugas menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia buku-buku padvinders (kepanduan, pramuka) berbahasa Belanda dan Inggris untuk bahan pelajaran anak-anak Kepanduan Elhilaal. Buku-buku bahasa asing itu dikirim ke Tanah Air oleh koresponden kepanduan di India dan Singapura. Adapun buku-buku berbahasa Arab dari Mekkah dan Cairo tidak perlu diterjemahkan karena bisa dipahami isinya oleh anggota kepanduan murid-murid Thawalib dan Diniyyah. Chatib Sulaiman mengerjakan tugas penerjemahan buku-buku  dengan senang hati tanpa digaji.   

Chatib Sulaiman banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan lintas ideologi dan lintas aliran di masa itu. Teman paling akrabnya dan selalu berdampingan adalah buku. Ia seorang pecinta buku dan pembaca yang tekun. Chatib Sulaiman seorang yang banyak memberi kepada orang lain meski tidak kaya dan tempat mengadu berbagai persoalan bagi kawan-kawannya. Kegemaran membaca buku-buku Sosialisme Barat, Sosialisme Timur, sosialisme pedesaan, ekonomi, buku sejarah dunia dan sejarah Tanah Air serta buku-buku agama, membuka cakrawala pemikiran Chatib Sulaiman terhadap nasib rakyat Indonesia. Buku-buku pemikiran Tan Malaka juga diresapinya. Ia seorang yang dapat diistilahkan sebagai self made man dan sejak muda memiliki karakter sebagai seorang pemimpin dan tokoh pergerakan.

Sekitar tahun 1931 Chatib Sulaiman memprakarsai berdirinya Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) atau Pramuka. Konon kata “Indonesia” pada nama kepanduan muncul dari gagasan Chatib Sulaiman dan merupakan yang pertama di tanah Hindia Belanda.

Setelah Drs. Mohammad Hatta berpidato di depan Persatuan Murid Diniyyah School Padang Panjang mengenalkan organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang digagas bersama Sutan Sjahrir, Chatib Sulaiman terpanggil untuk mendirikan organisasi pergerakan PNI Baru Cabang Sumatera Barat di Padang Panjang sekitar Desember 1932. Dalam organisasi itu Chatib Sulaiman merumuskan pendidikan politik untuk rakyat. PNI Baru atau PNI Pendidikan mempunyai tujuan menuju Indonesia Merdeka dengan seluruh kekuatan nasional. Sedangkan Indonesia Merdeka yang dikehendaki adalah Republik dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat). Pemimpin PNI Baru tidak akan mematikan partai manakala dibuang atau dipenjarakan.

Selama aktif di PNI Baru, Chatib Sulaiman tidak hanya mengkader anggota, tetapi sekaligus menanamkan nilai-nilai nasionalisme, kolektivisme dan kedaulatan rakyat kepada masyarakat melalui pers yakni majalah Pemberi Sinar di Padang Panjang yang dirintisnya bersama Leon Salim. Gerakan PNI Baru di Sumatera Barat berhenti Agustus 1933 ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan berkumpul (Vergader Verbod). Selain PNI Baru, di zaman yang sama di Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang Panjang, berdiri organisasi politik yang radikal-nonkoperatif dengan asas dan identitas Islam dan Kebangsaan untuk mencapai tujuan Indonesia Merdeka yaitu Persatuan Muslimin Indonesia disingkat PERMI tahun 1930. Pelajar-pelajar Sumatera Thawalib Padang Panjang banyak bergabung dengan PERMI sebagai penggeraknya. Tokoh pendiri Permi yaitu H.Iljas Yakub pada tahun 1999 ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional.

Sekitar 1935 Chatib Sulaiman mendirikan sekolah Merapi Institute di Padang Panjang. Modal awal sekolah itu dibantu oleh saudagar Anwar Sutan Saidi. Sekolah Merapi Institute (masih ada sampai sekarang) memiliki peran dalam mendidik anak-anak bangsa di Sumatera Barat. Chatib Sulaiman menolak subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1937 Chatib Sulaiman mendirikan Seminary Islam Modern di Padang Panjang yang bertujuan untuk melahirkan calon-calon guru agama Islam. Pendidikan Seminary Islam Modern tidak berumur panjang karena di Padang Panjang sejak 1911 sudah berdiri Sumatera Thawalib yang mengembangkan pendidikan Islam secara modern.

Dalam perjuangan di bidang ekonomi dan upaya memajukan kesejahteraan rakyat Chatib Sulaiman membantu Anwar Sutan Saidi (pendiri Bank Nasional) sebagai Wakil Direktur Persatuan Dagang Bumiputera di Bukittinggi. Persatuan dagang ini mengelola perusahaan untuk kemandirian ekonomi rakyat dan melawan korporasi asing yang menguasai perekonomian di Tanah Air kala itu.

Chatib Sulaiman bergerak mendirikan koperasi-koperasi nelayan di Sasak-Taluak, koperasi pembakaran kapur di Padang Panjang serta koperasi perkebunan tembakau bersama-sama Anwar Sutan Saidi, Mr. Nasroen dan Marzuki Yatim. Dalam pikirannya, koperasi adalah alat bertahan bagi manusia yang lemah terhadap modal asing dan tenaga asing dalam hal ini kompeni. Koperasi merupakan usaha persatuan senasib sepenanggungan, sehingga koperasi tidak boleh menjadi alat dan diperalat oleh penjajah.

Bapak Perang Rakyat Semesta

Pada episode akhir kekuasaan Hindia Belanda dan menjelang pendudukan Balatentara Jepang, Chatib Sulaiman dan beberapa kawan seperjuangan merencanakan aksi demonstrasi massal menuntut Indonesia Merdeka tanggal 12 Maret 1942. Aksi demonsrasi yang digagas bermaksud menuntut Asisten Residen Padang Panjang agar mengakui Merah Putih. Belanda hendaklah menyerahkan kekuasaan kepada bangsa Indonesia dan jangan menyerahkan kepada Jepang sebagai barang inventaris belaka. Belanda tidak berhak membumi-hanguskan negeri dan kekayaan bangsa Indonesia dalam situasi apapun. Demonstrasi gagal dilaksanakan karena diketahui terlebih dahulu oleh pihak penjajah dan akibatnya Chatib Sulaiman dan kawan-kawan dibuang serta ditahan di Kutacena, Aceh Selatan. 

Dalam masa pendudukan Jepang, Chatib Sulaiman mendirikan Laskar Rakyat (Giyugun) untuk mempertahankan Tanah Air. Giyugun merupakan pusat ketentaraan atau di Jawa dinamakan Pembela Tanah Air (PETA.)  Chatib Sulaiman saat itu menyatakan: “Tiap usaha harus mendidik. Mendidik kepada rakyat kita bahwa Giyugun itu adalah anak kita, mereka adalah kepunyaan kita. Jiwanya tidak boleh tergadai kepada Jepang. Pendidikan Giyugun tidak boleh dikuasai oleh orang kaya. Seluruh bangsa kita harus merasakan bahwa ialah yang membiayai pendidikan anaknya itu. “

Menurut data yang dihimpun Sudarman Khatib, jumlah tentara Giyugun di Sumatera Barat dalam catatan awal berjumlah 1.000 orang, dengan jumlah tertinggi 2.000 orang dengan pangkat tertinggi Letnan Satu (1 orang), 40 orang berpangkat Letnan Dua, dan 80 orang setingkat Bintara. Seluruh pasukan Giyugun menjalani latihan militer selama tiga sampai enam bulan. Dengan gagasan Chatib Sulaiman dilaksanakan pengumpulan sumbangan masyarakat yaitu “beras segenggam”, disisihkan di setiap  rumah setiap akan memasak nasi. Setelah beras itu  terkumpul dikirim seminggu sekali ke asrama Giyugun. Kesatuan Giyugun menjadi organ utama dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal TNI di Sumatera Barat.

Pada tahun 1943 Chatib Sulaiman terpilih sebagai Wakil Ketua Cuo Sangi Kai atau Shu Sangi In (Dewan Pertimbangan Karesidenan) mendampingi Moh Sjefei. Organisasi tersebut menggembleng pemuda-pemuda harapan bangsa dalam suatu organisasi separoh militer dengan nama Seinnendan artinya Gerakan Pemuda. Chatib Sulaiman pernah mengatakan, “Kita harus memegang pemuda. Hanya dengan pemudalah suatu bangsa bisa timbul, dan tanpa pemuda pula suatu bangsa akan tenggelam.”

Chatib Sulaiman menegaskan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 harus dipertahankan. “Kita harus menghadapi situasi yang maha hebat. Karena itu seluruh rakyat harus jadi tentara. Seluruh rakyat tanpa kecualinya jadi prajurit. Tiap dusun harus jadi benteng pertahanan. Tiap rumah harus jadi intenden, jadi tempat perbekalan perang, perang kemerdekaan.” terangnya. Ia yakin bahwa tak  ada satu kekuatan pun di dunia ini yang dapat menguasai suatu daerah manakala rakyatnya, seluruh rakyatnya, tidak mau diperbudak.

Pemikir militer asal Sumatera Barat Brigadir Jenderal TNI (Purn) Dr. Saafroedin Bahar dalam karya monumentalnya berasal dari disertasi Etnik, Elite, dan Integrasi Nasional: Minangkabau 1945 – 1984, Republik Indonesia 1985 – 2015 menyimpulkan Chatib Sulaiman adalah tokoh pemersatu elite sipil dan elite militer daerah. Saafroedin Bahar menguraikan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan diperlukan seorang solidarity maker yang mampu menyatukan para tokoh elite agar dapat mengambil keputusan secara efektif. Untuk tingkat daerah Sumatera Barat, Chatib Sulaiman adalah figur yang secara potensial dapat mendekatkan tokoh-tokoh elite Minangkabau yang terpecah-belah. Ia mudah menarik perhatian di tengah orang banyak.

Saafroedin Bahar lebih jauh mengungkapkan, Chatib Sulaiman berpendidikan Barat sehingga pada dasarnya ia adalah seorang cadiak pandai. Ia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan kalangan bekas Binnenlandse Bestuur yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan selama revolusi kemerdekaan. Chatib juga dekat dengan para alim ulama, antara lain dengan Hamka. Kemampuan berkomunikasi dengan para alim ulama ini penting, terutama mengingat besarnya pengaruh agama dalam masyarakat Minangkabau. Sebagai pemimpin, ia lebih senang berada dalam masyarakat, berkeliling memberikan semangat serta mempersiapkan perang gerilya di tengah rakyat. Dari segi konsepsi dan strategi perang, peranan Chatib Sulaiman adalah gabungan dari visi strategis Simatupang dan kepemimpinan Nasution untuk daerah Sumatera Barat. Ia adalah bapak perang rakyat semesta untuk daerah ini. 

Tugas Negara di Masa Revolusi

            Chatib Sulaiman memangku tugas perjuangan di masa revolusi kemerdekaan, antara lain sebagai anggota KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Sumatera Barat. Dalam kapasitas sebagai anggota KNID ia menghadiri Sidang Pleno KNIP di Malang.

Pada tahun 1946 Chatib Sulaiman diangkat menjadi Kepala Jawatan Kemakmuran Sumatera Barat. Setahun kemudian, terpilih sebagai pimpinan Front Pertahanan Nasional (FPN), mendampingi Hamka (Buya Hamka). FPN menjalankan fungsi menyatukan dan mengkoordinir laskar-laskar rakyat yang dibentuk oleh partai-parti politik di Sumatera Barat. Di samping itu menginisiasi pembentukan organ pertahanan sipil Barisan Pertahanan Nagari/Kota disingkat BPNK. Chatib Sulaiman dipercaya sebagai Asisten Gubernur Militer Sumatera Tengah Mr. Sutan Mohd. Rasjid.

Sekitar tahun 1948 Chatib Sulaiman dilantik sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Sumatera Barat. Ia menjalankan tugas itu sampai gugur 15 Januari 1949. MPRD menghimpun segala kekuatan yang ada di dalam masyarakat atau rakyat sipil untuk mempertahankan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Chatib Sulaiman membentuk secara berjenjang Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan (MPRK) guna mempersatukan segala kekuatan yang ada di tingkat Kecamatan. Lalu Badan Pertahanan Nagari dan Kota (BPNK) sebagai kesatuan seluruh pemuda di nagari/kota yang dimobilisir untuk mempertahankan dan menyelamatkan nagari/kota masing-masing dan mengacaukan musuh dalam rangka pertahanan semesta.

Pada waktu bersamaan ia dipercaya sebagai Asisten Gubernur  Militer Sumatera Tengah Mr. Sutan Moh. Rasjid. Chatib Sulaiman membuktikan kepiawaiannya sebagai seorang ahli strategi dan pemimpin yang berkepribadian kuat.   

Dalam proses terbentuknya Provinsi Sumatera Tengah tahun 1948 – 1957, Chatib Sulaiman berperan sebagai Panitia Desentralisasi dengan tugas mengumpulkan segala bahan yang diperlukan untuk membuat rancangan usulan badan otonomi hingga melahirkan Provinsi Sumatera Tengah. Tahun 1957 Provinsi Sumatera Tengah  diubah menjadi Provinsi Sumatera Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.

Gugur Mempertahankan Kemerdekaan

Pada Jumat malam tanggal 14 Januari 1949 Chatib Sulaiman selaku Ketua Markas Pertahanan Daerah (MPRD) memimpin rapat rahasia untuk membicarakan konsolidasi organ perjuangan PDRI. Rapat diadakan di sebuah lembah yang disebut masyarakat “Lurah Kincia” karena disana terdapat kincir penumbuk padi, surau dan beberapa rumah penduduk.

Nagari Situjuh Batur, Kabupaten Lima Puluh Kota, di kaki Gunung Sago, adalah salah satu dari lima nagari di daerah Situjuh. Rapat konsolidasi perjuangan di Situjuh Batur berakhir pukul 02.30 WIB. Peristiwa yang dapat disebut sebagai “pembantaian” oleh tentara Belanda di Situjuh Batur terjadi pada pukul 05.00 WIB.

Audrey Kahin dalam disertasinya di Cornell University Ithaca New York Amerika Serikat tahun 1979, berjudul Struggle for Independence: West Sumatera in Indonesia National Revolution 1945 – 1950 (Perjuangan Kemerdekaan: Sumatera Barat Dalam Revolusi Indonesia 1945 – 1950) melukiskan secara detil dan kronologis Peristiwa Situjuh Batur, didasarkan pada wawancara dengan dua peserta di rapat itu yang masih hidup, antara lain Dahlan Ibrahim dan Syamsul Bahar serta sejumlah penduduk desa di Situjuh.

“Rapat diadakan selama beberapa jam. Di sana akan dibicarakan pengorganisasian administrasi dan keamanan Sumatera Barat sesuai dengan situasi yang berobah drastis setelah serangan Belanda. Selanjutnya di situ juga akan disusun rencana untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat terhadap pimpinan sipil dan militer, yang untuk selama 3 minggu belakangan telah rusak cukup parah akibat kekalahan dan kerugian yang memalukan yang diderita Republik. Menurut Dahlan Ibrahim, di samping mendiskusikan tentang perbaikan koordinasi sipil-militer, mereka juga merencanakan untuk menghadang patroli Belanda, merusak jalur komunikasi mereka dan melancarkan serangan terkoordinasi terhadap kota-kota yang diduduki Belanda.” ungkap Kahin.

Adrey Kahin lebih lanjut menceritakan, “Oleh karena di tengah-tengah desa tidak ada gedung besar yang mampu menampung seluruh peserta, maka mereka lalu berkumpul di rumah Mayor Mukinuddin, Wedana Militer Payakumbuh Selatan yang terletak di sebuah lembah yang sempit dan dalam. Tindakan untuk melindungi rapat itu telah diambil sebelumnya, yaitu dengan jalan menggali jalan masuk, menghalanginya dengan pohon-pohon kayu, serta dengan menghancurkan jembatan-jembatan. Sekitar 80 tokoh dari seluruh daerah berkumpul di sana pada tanggal 14 Januari 1949. Anggota pemerintahan sipil paling tinggi yang hadir disana adalah Chatib Sulaiman dan Abdullah.  Pembicaraan berlangsung sampai pagi buta 15 Januari, dan setelah selesai kebanyakan peserta yang berasal dari daerah-daerah setempat mulai meninggalkan tempat rapat dan pulang ke rumah masing-masing, tetapi peserta dari daerah yang lebih jauh, malam itu tidur di rumah Wedana atau di rumah-rumah sekitarnya. Kamaluddin alias Tambiluak bertanggungjawab atas keamanan dan kepadanya dipercayakan tugas menempatkan penjaga-penjaga sepanjang jalan menuju Situjuh. Akibatnya, tentara Belanda dapat mengepung peserta-peserta yang sedang ketiduran tanpa diberitahu aba-aba tanda bahaya. Kebanyakan dari 69 orang yang terbunuh pada malam tersebut adalah penduduk desa  ataupun anggota barisan keamanan desa dari BPNK yang mengawal daerah ini. Namun sejumlah pejabat tinggi pemerintah seperti Chatib Sulaiman, Bupati Arisun dan Letkol  Munir Latif dari Painan juga ikut tewas. Tanggal 15 Januari barangkali merupakan titik terendah bagi orang Minangkabau dalam menghadapi aksi militer Belanda kedua. Peristiwa  malam itu agaknya juga merupakan salah satu sebab diterapkannya hukuman yang semakin keras terhadap setiap orang Indonesia yang dicurigai bekerja sama dengan Belanda.” demikian Audrey Kahin, dikutip seperlunya.

Menurut sumber referensi otoritatif seperti buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Minangkabau/Riau, (Ahmad Husein, dkk,  1992), dalam peristiwa di Situjuh Batur gugur 69 orang, yaitu 18 orang pimpinan gerilya Sumatera Barat beserta staf dan 51 orang anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Hikmat Israr dalam bukunya menyebut hampir semua yang tidur di Lurah Kincia itu gugur, termasuk Chatib Sulaiman, dengan pistol masih dalam genggaman tangannya. Beberapa orang sempat menyelamatkan diri tanpa diketahui tentara Belanda.

Menurut saksi mata, tangan Chatib Sulaiman tetap memegang buntalan surat-surat dan instruksi Gubernur Militer Mr. Sutan Moh. Rasjid, dokumen negara yang dibungkusnya dengan kain sarung dan dipertahankannya sampai detik terakhir nyawanya melayang agar dokumen-dokumen itu tidak tercecer atau jatuh ke tangan musuh (tentara Belanda). Chatib Sulaiman sempat melakukan perlawanan dengan menembakkan pistolnya beberapa kali, namun panggilan Ilahi menentukan bahwa ia mesti pergi sebagai syuhada pembela kemerdekaan.

Pada hari berkabung jenazah Chatib Sulaiman dimakamkan bersama para pejabat sipil dan militer yang tewas seketika di Lurah Kincia Nagari Situjuh Batur, tempat kejadian. Kini tempat itu menjadi Makam Pahlawan Situjuh Batur.

Peristiwa Situjuh Batur mempunyai gaung nasional dan merupakan tragedi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Sumatera Barat sebagai ibukota PDRI. Wakil Presiden Mohammad Hatta tahun 1950-an menyempatkan diri untuk menziarahi pandan pekuburan syuhada Situjuh Batur.

Sangat mengharukan puisi Buya Hamka mengenang sahabatnya Chatib Sulaiman yang gugur (syahid) di medan juang membela kemerdekaan Indonesia, dikutip dari buku Khatib Sulaiman oleh Leon Salim (1987), sebagai berikut: 

MENGENANG Sdr. CHATIB SULAIMAN

Gugur (Syahid) Di Situjuh Payakumbuh 15 Januari 1949      

Di dalam rimba belukar sunyi

Di dalam ngembara seorang diri

Dari kampung menuju kampung

Mendengar genta kerbau di padang

Mendengar kokok ayam di ladang

Temanmu teringat akan wajahmu

Tinggi besar badan semampai

Mata tenang penuh harapan!

Suara meriam deru menderu

Bergetar mustang di udara lapang

Runding bersela dengan senapang

Saudara CHATIB tak ada lagi 

Tapi arwahmu beserta kami

Lusuh surat yang kau kirimkan

Basah tersiram di air hujan

Belum sempat aku membaca

Kabar syahidmu yang aku dengar

Kubuka kembali sampul suratmu

Insya Allah kita kan menang

Di kampung sunyi jauh di dusun

Mengawal pemuda gagah perkasa

Tiap tenaga telah tersusun

CHATIB SULAIMAN EMPUNYA RASA

Dalam menuju kemenangan pasti

Wajahmu KHATIB tetap terkenang

Kuhadap kemuka teguhkan hati

Hapus airmata walaupun berlinang

Walau bak mana jalan rundingan

Putusan hanya di tangan kita

Pegang kata ambil pedoman

Jangan dirintang fatamorgana

Wahai tuan LURAH SITUJUH

Tolong pelihara PAHLAWAN kami

Intan mutiara permata tujuh

Hadiah ke IBU penyubur bumi

Hari Sabtu 26 April 2014 saya mengunjungi Makam Pahlawan Situjuh Batur, saksi bisu peristiwa 15 Januari 1949. Dilanjutkan mengunjungi nagari Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota yang di masa revolusi kemerdekaan 1948 – 1949 menjadi ibukota PDRI. Saat menghampiri pusara tempat peristirahatan terakhir almarhum Chatib Sulaiman dan kawan-kawannya di lembah Lurah Kincia yang sunyi dan tenang itu, serasa bergetar hati saya membayangkan jauh-jauh mereka datang ke tempat yang tersuruk, meninggalkan keluarga di rumah dalam masa perang kemerdekaan, untuk membahas kelanjutan perjuangan hingga menemui takdir kematian secara tragis. Chatib Sulaiman dan kawan-kawan telah menunaikan tugasnya membela negara proklamasi dan mempertahankan  agar Indonesia tetap merdeka dari penjajahan.

Pantas Sebagai Pahlawan Nasional

Sahabat seperjuangannya Leon Salim menggambarkan sosok Chatib Sulaiman yang idealis, cerdas dan gigih berjuang dalam bukunya yang disebut di atas, sebagai berikut, “Chatib Sulaiman Perintis, Pendidik, Pejuang, Pahlawan. Dari anak drop-out SMP sampai syahid dibunuh Belanda. Liku-liku jalan hidupnya memang unik. Unik dan luar biasa. Tersendat di kiri ia muncul di kanan. Tersendat di kanan ia menciut ke belakang. Tertahan di belakang ia meliuk ke muka. Tersumbat di muka ia menyelinap ke bawah. Tertumpu di bawah ia muncul di udara. Pahlawan yang tetap sederhana. Tetap melarat bersama-sama rakyat banyak. Pemimpin yang selalu tegak di depan. Perencana yang berpandangan jauh ke depan. Pengabdi yang ikhlas. Pembela Rakyat yang ber-Kedaulatan Rakyat. Setiap orang mengakuinya. Semoga arwahnya ditempatkan Ilahi dalam surga Jannatun Na’im sebagai Syuhada.”

Sepanjang hajat ia hanya memberi untuk bangsa dan negara, tidak pernah mengumpulkan apa pun dari negara, tidak pernah meminta dan menuntut kepada bangsanya.

Amanat Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai jasa para pahlawannya.”

Sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasa Chatib Sulaiman, atas usul Leon Salim kepada Walikota Padang Drs. Hasan Basri Durin, nama Chatib Sulaiman diabadikan menjadi nama sebuah jalan protokol di kota Padang sejak 1983. Nama Chatib Sulaiman juga diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota lain di Sumatera Barat, GOR Chatib Sulaiman di Bancah Laweh Padang Panjang, dan nama lapangan sepak bola di Sumpur.

Tanda kehormatan dan penghargaan dari negara untuk almarhum Chatib Sulaiman sampai saat ini terdiri atas Bintang Mahaputera Utama diserahkan oleh Presiden Soeharto tahun 1995 kepada ahli warisnya. Selain itu Piagam Penghargaan sebagai Pejuang Kemerdekaan dari Provinsi Sumatera Barat tahun 1974 diserahkan oleh Gubernur Harun Zain, Piagam Penghargaan Perjuangan Chatib Sulaiman Dalam Mempertahankan Kemerdekaan dari Walikota Padang Panjang tahun 2019, Piagam Penghargaan dari Masyarakat Situjuh Batur tahun 2016 atas jasa Chatib Sulaiman selaku pahlawan Tanah Air dan pejuang peristiwa Situjuh Batur dalam mempertahankan kemerdekaan, Piagam Kenang-Kenangan dari mantan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta  tanggal 7 Februari 1971 atas dedikasi Chatib Sulaiman mendirikan dan membesarkan Pendidikan Nasiona Indonesia (PNI-Baru).

Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan oleh Presiden RI kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara, sesuai persyaratan dan ketentuan perundang-undangan. Chatib Sulaiman adalah pejuang dan negarawan yang tanpa cacat. Ia sangat pantas untuk menerima gelar itu sebagai pengakuan negara dan generasi penerus terhadap jasa dan pengorbanannya yang besar untuk bangsa dan negara.

Semoga Ibu Pertiwi akan terus melahirkan putra terbaik bangsa yang berjuang dan mengabdi dengan lurus tanpa pamrih untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia.