Oleh M. Fuad Nasar

Sekitar pukul 15.00 WIB jenazah almarhum Bapak Fahmi Idris diturunkan ke liang lahat di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. Ia dimakamkan satu liang lahat dengan istri pertamanya almarhumah Hj. Kartini binti K.H. Hasan Basri (putri mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri) yang sudah mendahului berpulang 5 Februari 2014. Penuh sesak pelayat yang hadir sejak dari rumah duka sampai mengantar ke tempat peristirahatan terakhir. Sambutan menjelang penguburan jenazah disampaikan oleh sahabat seperjuangan almarhum sejak mahasiswa sesama aktivis Angkatan 66 yaitu Ir. H. Akbar Tanjung dan sambutan Gubernur DKI Jakarta Anies R. Baswedan.

Fahmi Idris meninggal dunia di RS Medistra Jakarta, Minggu 22 Mei 2022/21 Syawal 1443 H pukul 10.00 WIB pada usia 78 tahun. Dalam karir politiknya Fahmi Idris pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Perindustrian RI. Ia pernah menjadi anggota DPR-GR dan Anggota MPR-RI. Sosoknya dikenal luas sebagai tokoh nasional Angkatan 66. Ia “aktivis tiga zaman” sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. 

Sepanjang hidupnya Fahmi Idris yang dari muda menjadi pengusaha memiliki kontribusi dalam perekonomian nasional. Seorang pengusaha dan pebisnis yang berkarakter, seperti Fahmi Idris, meninggalkan kenangan baik dan inspirasi bagi keluarga, sahabat dan para koleganya. Sebagai tokoh perantau Minang, ia punya kepedulian untuk kemajuan pembangunan daerah Sumatera Barat bersama para saudagar/pengusaha asal Minang lainnya. Fahmi Idris bergabung dalam Gebu Minang, Forum Minang Maimbau (FMM) dan organisasi lainnya.

Ia seorang yang memiliki perhatian besar terhadap amal jariyah di bidang sosial keagamaan. Sejak beberapa tahun lalu, ia mendirikan sekolah Tahfiz Al-Quran Fahmi Idris/Akademi Al-Quran di Jalan Kenari II, Senen, bekas kediaman orangtuanya dan menyediakan beasiswa bagi santri. Islam menganjurkan agar setiap orang atas dasar kelebihannya masing-masing mengisi hidupnya dengan amal shaleh sebagai bekal menghadap Ilahi. Fahmi Idris mengamalkan pesan agama itu dengan baik.

Peminat Buku-Buku Hamka

Semenjak masa kecil Fahmi Idris adalah pecinta buku-buku karangan Prof. Dr. Hamka. Buku karangan Hamka berjudul Mutiara Filsafat setebal lebih kurang 900 halaman telah tamat dibacanya ketika masih sekolah. Buku itu dipinjamnya di perpustakaan di Jalan Raden Saleh Cikini Jakarta. Selain itu beberapa buku lain karya Hamka telah dibacanya.

Dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), Fahmi Idris mengenang perjumpaan pertamanya dengan Buya Hamka pada tahun 1957 di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Dengan judul artikel “Inilah Dia Orang-nya”, ia menuturkan: “Buya menepuk-nepuk bahu saya dan sambil berjalan perlahan-lahan lalu berujar: Apa pendapat kamu tentang buku tersebut? Ada bagian yang kurang begitu dapat saya pahami Buya, yaitu yang terhimpun di dalam bagian Tasauf Moderen. Oh (sambil terus tangan Buya di bahu saya) pandai juga rupanya kamu menangkap dalam membaca ya, itu bagus. Lanjutkan jugalah bacaanmu, jangan dipaksakan benar bila ada yang kamu belum mengerti tetapi luangkanlah waktu untuk bertanya. Siapa nama kamu? Fahmi Idris, Buya: Hm, semoga Allah selalu memberimu petunjuk agar kamu dapat mengerti dan memahami segala liku-liku hidup ini secara benar (sambil menepuk-nepuk bahu saya).” kenang Fahmi Idris.

Fahmi Idris mensitir pernyataan Buya Hamka, Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru itu dalam khutbah Jumat di Masjid Agung Al-Azhar sekitar tahun 1979 yang berkesan baginya, “……mimbar ini dan tempat ini – masjid – adalah tempat kami para ulama dan tempat kita umat Muhammad Saw yang beriman. Di sini kita menempa ilmu, menyehatkan akhlak, membina budi, menebalkan iman dan tauhid – dan itulah memang kerja kami para ulama – yang hanya sekadar menjalankan sunnah Rasulullah. Bila tempat ini dengan fungsi yang demikian akan dikenakan batasan akan dirusak dari jalannya yang benar, akan diganggu dengan alasan-alasan apa pun, saya ingatkan tuan-tuan yang berkehendak mau melakukan itu, bahwa tuan-tuan bukan akan berhadapan dengan kami, tetapi tuan-tuan akan berhadapan dengan yang memiliki tempat ini – Allah Subhanahu wa taala. Percayalah apa pun yang terjadi di hadapan masjid ini dan masjid-masjid yang lainnya haruslah tetap dipelihara akan peranan dan fungsinya kita pelihara dan kita jaga bersama…”

Fahmi Idris bercerita kepada saya di kediamannya, setelah tidak ada lagi Buya Hamka, ia seringkali shalat Jumat di masjid terdekat rumahnya saja. Kecuali kalau jadwal yang menjadi khatib atau ceramah tarawih bulan Ramadhan di Al-Azhar ialah K.H. Hasan Basri (ayah mertuanya).

 Dalam umur yang tidak muda lagi Fahmi Idris memberi contoh menuntut ilmu tanpa mengenal usia. Ia menyelesaikan pendidikan doktoral (S3) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Pada tanggal 9 April 2022 ia dikukuhkan sebagai Profesor Kehormatan Universitas Negeri Padang (UNP). 

Tokoh Angkatan 66

Fahmi Idris adalah seorang demonstran sehingga layak disebut sebagai pelaku sejarah perubahan politik dari rezim Orde Lama ke Orde Baru yang didahului prahara nasional peristiwa G.30.S/PKI. Fahmi Idris tampil sebagai aktivis mahasiswa dan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) saat itu berada di pusaran perubahan politik yang menyuarakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) dan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera).

Mengutip Awaluddin Djamin, mantan Kapolri, dalam buku Fahmi Idris Aktivis Tiga Zaman (2015), tentu masyarakat masih ingat pergantian Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1966. Pergantian ini melibatkan beberapa kelompok mahasiswa dan pelajar yang kemudian dikenal sebagai Angkatan 66. Mereka tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Perjuangan pelajar/mahasiswa pada tahun 1966 menewaskan seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim. Peristiwa ini kemudian dijadikan pencetus terbentuknya Laskar Ampera Arief Rachman Hakim yang dikomandani oleh Fahmi Idris.

Pada waktu Fahmi Idris merayakan ulang tahun ke-70 tanggal 20 September 2013, saya menghadiahkan untuk beliau repro foto bersejarah dari Majalah Gema Islam No 82 Th V/Agustus 1966. Dalam keterangan foto sesuai aslinya tertulis, “Fahmi Idris, Ketua Laskar Ampera Arif Rachman Hakim sedang membicarakan sesuatu dengan kawan-kawannya mahasiswa. Mereka telah berjasa bagi kita semua pecinta kebenaran dan keadilan.”

Fahmi Idris adalah salah seorang tokoh kebanggaan masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Sebagai politikus dan pengusaha sukses yang menapak dari bawah, Fahmi Idris seorang yang “pandai menempatkan diri”.

Sewaktu pemilihan Gubernur Sumatera Barat di era Orde Baru tahun 1990-an, Fahmi Idris, meski ia Pengurus DPP Golkar, tidak berminat diusung menjadi calon gubernur. Sesuai sistem politik dan demokrasi di Indonesia waktu itu, gubernur dipilih oleh DPRD, sehingga yang terpenting bagi seorang calon gubernur ialah mendapat restu pemerintah pusat serta dukungan fraksi-fraksi terutama Golkar dan ABRI yang mempunyai kursi terbanyak di DPRD. Menurut Fahmi Idris, biarlah peluang menjadi Gubernur Sumatera Barat untuk mereka yang telah berkiprah di daerah. Sikap dan keteladanan politik semacam itu membuat kita kagum dengan prinsip hidup seorang Fahmi Idris yang langka ditemukan di dunia politik dewasa ini.

Bercerita Masa Kecil

Kenangan saya melayang ke masa beberapa tahun silam, saat wawancara dengan Fahmi Idris di kediamannya, Mampang Prapatan. Ia menuturkan pengamatan pribadinya mengenai masyarakat Indonesia kontemporer yang mengalami perubahan tata nilai atau menurut istilah beliau perubahan menuju “tanpa nilai”.  

Fahmi Idris memulai cerita dengan mengenang masa kecilnya sebagai anak perantau Minang di ibukota Jakarta, “Saya lahir 20 September 1943 dari kedua orangtua yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tetapi sebagai perantau, orangtua saya membesarkan saya hingga remaja di Gang Kenari, Jakarta Pusat. Meski dilahirkan dalam zaman pendudukan Jepang (Dai Nippon) yakni dua tahun menjelang Indonesia merdeka, namun tidak banyak yang saya ingat dari kehidupan zaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan. Usia saya masih terlalu kecil untuk mengingat semua peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan.” tuturnya.

Ia melanjutkan nostalgianya, “Setelah penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 dan memasuki dekade 1950-an, seiring bertambahnya usia, mulai banyak kejadian yang saya amati dan alami. Udara Indonesia yang saya hirup adalah udara yang bebas dari penjajahan, namun masih dalam tahap “belajar” mengelola negara dan belajar berpemerintahan sendiri. Banyak nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat dan bangsa berubah pasca-kemerdekaan, namun beruntung di masa itu bangsa Indonesia masih didampingi oleh para pejuang, pemimpin dan pendiri negara yang memegang teguh idealisme dan prinsip-prinsip perjuangan sebagai penunjuk arah perjalanan bangsa.”                 

“Dalam masa-masa itu, usia saya beranjak remaja, ayah saya Haji Idris gelar Marah Bagindo, seorang pengusaha dan wiraswasta yang sangat peduli dengan perkembangan anak-anaknya, sering membawa saya jalan naik trem listrik kelililing kota Jakarta. Dengan cara begitu ayah mendidik saya untuk mengenal dan belajar memahami karakter masyarakat dengan mengalami langsung. Mengenal masyarakat tidak cukup hanya dari teori dan pelajaran di sekolah, tapi dari pengalaman dan pengamatan sehari-hari. Sebagai orang Minang, ayah sangat mengerti makna falsafah hidup yang mengajarkan “alam takambang jadi guru”.

Sedikit saya ingin bercerita terlebih dulu soal trem listrik yang saya naiki bersama ayah – lanjut Fahmi Idris. Trem adalah moda transportasi publik yang punya cerita dan kenangan tersendiri bagi warga Jakarta tempo doeloe. Trem listrik bertahan sebagai transportasi umum di kota Jakarta sampai 1960. Jalur yang dilewati trem listrik ialah Menteng – Kramat – Jakarta Kota. Senen – Gunung Sahari. Menteng – Merdeka Timur – Harmoni. Menteng – Tanah Abang – Harmoni. Harga karcisnya murah, cuma sepicis atau 10 sen, sehingga warga Jakarta sering berebut naik trem. Trem listrik menjangkau seluruh Jakarta. Pada tahun 1960, ketika Jakarta dipimpin oleh Walikota Sudiro, trem listrik dihapus atas kebijakan Presiden Soekarno karena dianggap biang kemacetan, terutama di jalur jalan Gajah Mada.  Konon Bung Karno dikabarkan tidak setuju dengan keberadaan trem listrik yang menurutnya sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan kota Jakarta. Presiden RI Pertama itu sempat mengusulkan model metro atau kereta api bawah tanah.

Fahmi Idris beralih dari cerita trem listrik ke cerita potret situasi Jakarta Raya yang dialami dan dirasakannya saat itu. “Ketidaktertiban penduduk mulai terlihat waktu itu di jalan raya dan di atas kendaraan trem. Tetapi wajah dan rona muka warga Jakarta di atas trem hampir semuanya cerah-ceria dan seolah tanpa menanggung beban. Di atas trem, ada dua tiga orang yang naik trem tanpa membeli karcis dan berlagak koboy ketika diperiksa oleh petugas. Petugas karcis pun tidak bertindak tegas terhadap perilaku penumpang yang melanggar tertib aturan. Setengah berbisik ayah mengatakan kepada saya waktu itu bahwa maklum, bangsa kita baru menikmati kemerdekaan dan terbebas dari belenggu penjajahan. Sebagian orang memiliki persepsi yang salah bahwa “merdeka” seolah bebas berbuat tanpa terikat oleh banyak aturan. Maklum pendidikan bangsa kita waktu itu masih rendah dan orang Indonesia yang mencapai pendidikan sarjana masih sangat sedikit sekali. Musim berganti dan zaman terus beredar. Manusia datang dan pergi dari panggung kehidupan.”

Pergeseran Persepsi Iklan

Penuturan kisah hidup dan pengamatan sosial Fahmi Idris beralih ke soal pergeseran persepsi iklan di masyarakat. Menurutnya, “Memasang iklan selama ini dipahami sebagai bentuk komunikasi untuk memperkenalkan suatu produk dagang dan membujuk audiens (pemirsa, pembaca atau pendengar) untuk membeli dan menggunakan produk yang diiklankan.          

Fahmi Idris mengamati fenomena zaman sekarang, “Iklan sampai era 1970-an berbeda dibanding sekarang. Waktu itu belum ada iklan baliho yang dipasang di pinggir jalan. Belum ada iklan mempromosikan orang, kecuali pada masa kampanye menjelang Pemilihan Umum. Iklan kampanye Pemilu boleh dikatakan tidak mempromosikan orang karena dalam sistem Pemilu saat itu, rakyat memilih tanda gambar kontestan peserta Pemilu dan tidak langsung memilih orang. Saya cermati belakangan ini iklan mengenai diri muncul luar biasa dan tidak hanya di ibukota, tetapi di semua daerah, terlebih setelah sistem demokrasi Indonesia menetapkan sistem pemilihan langsung. Iklan mempromosikan orang muncul di koran, televisi, dan di jalan raya hingga ke pelosok daerah. Iklan yang merambah jalan dan tempat umum hingga merusak pemandangan keindahan tidak ada di zaman Orde Lama maupun Orde Baru.

“Iklan-iklan yang bertebaran itu ada yang masuk akal, tapi ada juga yang agak sulit diterima akal sehat.” Kenapa?

“Suatu hari kita lihat muncul iklan seorang tokoh di jalan raya, foto besar berwarna, namun tanpa menyebut apa-apa. Hanya foto dan nama orang yang dipromosikan. Saya agak sulit menyebut dan mendefinisikan iklan semacam itu, kecuali saya menginterpretasikan bahwa ia ingin dikenal. Bahkan di Surabaya saya membaca iklan baliho yang menyebut sebagai calon gubernur, sedangkan calon gubernur yang sesungguhnya sudah diumumkan.” imbuhnya.

“Saya lalu berpikir, mungkin orang ini belum mendapatkan pasangan, atau barangkali ia mensosialisasikan diri untuk calon gubernur yang siap untuk dipilih dalam pemilihan yang akan datang. Begitulah persepsi yang terbentuk tentang iklan politik. Budaya iklan bahkan kini merambah lingkungan birokrasi. Sudah tidak asing lagi di halaman kantor kementerian atau lembaga pemerintah dipasang baliho iklan layanan masyarakat dengan menampilkan foto menteri.

Kesimpulan saya – tutur Fahmi Idris – persepsi masyarakat Indonesia tentang iklan telah jauh berubah. Semula iklan hadir untuk mempromosikan barang baru kepada masyarakat atau calon pembeli, tetapi sekarang iklan untuk mempromosikan orang dan kadang sudah tidak proporsional.          

Feodalisme Baru

“Dahulu gelar kebangsawanan di Nusantara hanya disandang oleh keluarga dan keturunan kesultanan atau kerajaan di lingkungannya. Misalnya kesultanan Deli, Kerajaan Minangkabau, Keraton Surakarta, dan sebagainya. Tidak ada orang yang memakai gelar di luar dari lingkungan dan keturunan kesultanan atau kerajaan yang bersangkutan melalui silsilah yang jelas dan dapat dipertanggung-jawabkan. Tetapi, kini gelar yang semula disandang oleh keluarga dan keturunan kesultanan atau kerajaan dapat diberikan kepada orang lain dari berbagai daerah.

Bermacam latar belakang dan motif dibalik pemberian gelar kebangsawanan  dan beragam pula posisi orang yang memperoleh gelar-gelar itu. Pemberian gelar kerap terjadi kepada seseorang pejabat, tokoh politik, orang terkemuka, pengusaha dan sebagainya. Penguasa dan politisi suka akan gelar-gelar kebangsawanan, apalagi untuk kepentingan meraih dukungan publik untuk menghadapi pemilihan atau untuk memperbesar pengaruh di masyarakat.” ungkapnya.

Tidak sebatas itu – kata Fahmi Idris – belakangan pemberian gelar kebangsawanan diwarnai motif transaksional alias diperjual-belikan kepada siapa yang berminat dan tentu orang yang mempunyai uang. Menurut penelitian yang dilakukan beberapa dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kasus meminta dan mendapatkan gelar dari keraton pada para pejabat, ilmuwan, dan konglomerat, sudah berlangsung puluhan tahun. Jika melihat data, jumlahnya mungkin mencapai ratusan atau ribuan orang.

Fahmi Idris bercerita kepada saya, “Saya sendiri pernah dikirimi surat yang menawarkan gelar-gelar tersebut dengan persyaratan-persyaratan termasuk persyaratan pembayaran dalam jumlah tertentu. Penawaran tersebut saya tolak secara halus. Saya  balas bahwa tanpa mengurangi rasa hormat, saya merasa belum pantas untuk menerima gelar tersebut. Merasa gelar itu ketinggian buat saya.”

“Menurut saya, gelar kebangsawanan seharusnya diberikan dan digunakan sesuai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bersangkutan. Gelar-gelar kebangsawanan patut dihormati oleh pihak yang memberi maupun pihak yang menerima dan diberikan kepada yang berhak saja. Orang bisa saja berdalih dan bersilat lidah bahwa penganugerahan gelar kebangsawanan yang telah menjadi tradisi, bukan upaya untuk menghidupkan kembali paham feodalisme, tetapi untuk memberikan landasan dasar perilaku hidup agar masyarakat tidak anarkis, berupaya mencapai masyarakat yang mengindahkan etika, moral, estetika serta mencapai kehidupan bermartabat. Tetapi kenyataan yang ada di lapangan tidak selalu demikian.” 

Fahmi Idris berpendapat bahwa gelar yang diberikan secara sembarangan dan diterima tanpa kriteria yang jelas hanya akan menyuburkan feodalisme baru di negara kita. Padahal, seperti kata proklamator kemerdekaan almarhum Bung Hatta, ”Mental feodal itu harus dienyahkan dari sikap jiwa generasi muda.” Salah satu persoalan kebudayaan yang krusial dan sangat ditekankan oleh Bung Hatta adalah menentang munculnya kembali kultur feodalistis yang di masa perjuangan kemerdekaan telah berkurang.

Ia menyoroti terjadinya pergeseran nilai budaya gotong-royong dan tolong-menolong yang di daerah Minangkabau  terdapat petuah, “Kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan” (Kabar baik berhimbauan, kabar buruk berhamburan). Lalu, ke mana perginya kearifan lokal tatkala ada kejadian orang miskin mati kelaparan dan anak keluarga miskin bunuh diri lantaran orang tuanya tidak punya untuk bayar uang sekolah, seperti baru-baru ini terjadi di Jakarta dan di daerah lain.

Pak Fahmi ketika itu sempat membicarakan mengenai rencana wawancara berkelanjutan untuk disusun menjadi buku. Keinginan baik beliau tidak tercapai karena berbagai kendala. Pak Fahmi Idris setelah itu mengalami gangguan kesehatan, dimana beliau harus menjalani tindakan medis di Singapura.

Setelah Pak Fahmi Idris pulang dari perawatan di Singapura dan menjalani recovery pasca operasi tulang punggung, saya bezuk beliau di kediaman. Saat itu saya diterima di kamar istirahatnya. Kenangan lain yang takkan terlupakan ialah ketika Pak Fahmi Idris dan Ibu Hj. Kartini Fahmi Idris hadir dalam resepsi pernikahan saya di Aula Buya Hamka Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Saat itu beliau sudah menjabat sebagai Menteri.

Selamat Jalan Pak Fahmi Idris. Terima kasih atas segala kebaikan dan kepedulian Bapak.  Selamat memasuki kehidupan yang abadi.

Semoga Allah SWT memberi tempat yang layak dalam keridhaan-Nya.